1. Apa yang menjadi faktor penentu praktek Public Relations? Hasil riset menyebutkan ada 4 faktor penentu praktek PR dalam organisasi. Persepsi Manajemen terhadap PRBudaya OrganisasiKualitas praktisi PRAda tidaknya pressure group Pakar PR menyatakan bahwa jika manajemen menganggap PR itu penting, maka dia akan diposisikan sebagai unit yang penting dalam struktur organisasi. Sebaliknya, apabila manajemen menganggap peranan PR itu kecil, maka dia akan diposisikan sebagai unit kecil saja dan kontribusinya juga tidak akan berarti/kecil. Dalam prakteknya, yang lebih menentukan adalah akses PR kepada top management, bukan hanya posisinya dalam struktur organisasi. Budaya organisasi menentukan kiprah PR. Sejauh Mana dia diberikan peluang atau kewenangan untuk mengembangkan potensinya. PR hanya dapat berkembang dalam organisasi dengan budaya yang terbuka, artinya dalam keseharian, dimungkinkan terjadinya dialog â yang dapat menghasilkan kesefahaman. Hubungan atasan dan bawahan dan antar sesama karyawan dilakukan atas dasar partnership, bukan otoriter dan kaku dalam bentuk perintah semata. Dalam budaya yang terbuka, PR dapat memberikan masukan tanpa ada rasa takut atau khawatir dipersalahkan. Kualitas praktisi PR juga sangat menentukan efektivitas dan kontribusi peran dan fungsi PR ini. Dia harus faham nilai nilai perusahaan yang menjadi pegangan utama kegiatan komunikasi yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Kualitas terdiri dari kemampuan melaksanakan tugasnya, kreativitas termasuk integritas dirinya sendiri. 2. Mengapa orang awam masih mempertanyakan istilah public relationsâ dan sering diartikan sebagai sarana promosi dan publikasi lembaga? Dalam banyak kasus ditemukan perjuangan praktisi PR untuk menjelaskan istilah PR, peran dan fungsinya kepada atasannya, karena keterbatasan pemahaman manajemen atau petinggi organisasi terhadap profesi yang masih dianggap baru berkembang ini. Istilah public relations dapat dijabarkan sebagai suatu komunikasi yang strategis, terarah kepada publik tertentu yang dikomunikasikan dengan berbagai saluran komunikasi agar terjadi perubahan sikap. Public relations berbeda dengan komunikasi massa. Sasaran utama praktek PR adalah perubahan sikap publik. Dari yang tidak tahu, menjadi tahu. Dari yang tidak suka menjadi netral kemudian diharapkan setelah ada pemahaman melalui komunikasi terbuka, dialog atas dasar kesamaan posisi, kemudian dapat diharapkan dukungan, memberitakan dan merekomendasikan kepada orang lain tentang suatu kebijakan untuk lembaga/pemerintahan atau pembelian produk / destinasi / jasa â yang dilakukan dalam bentuk aktivitas komunikasi atau event. 3. Apakah ada perbedaan istilah âHumasâ dengan âPublic Relationsâ berpengaruh dalam prakteknya sehari-hari? Istilah Humas sering diasosiasikan sebagai praktek komunikasi di lembaga pemerintahan dengan konotasi peran yang cenderung lebih teknikal seperti keprotokolan, dokumentasi, kliping berita dan komunikasi dengan media dan diseminasi informasi. Dalam konteks ini, peran dan fungsi lebih sebatas reaktifâ, menanggapi opini publik yang mungkin keliru karena terjadinya distorsi komunikasi. Sementara istilah public relations, banyak digunakan di lembaga swasta. Dalam perkembangannya, istilah ini kurang difahami dan seringkali dipersepsikan negatif, dianggap mengandung pengertian yang kurang baik, misalnya istilah purelâ, sehingga sejak tahun 1990an di Indonesia dikenal dengan istilah corporate communicationâ disingkat corcomâ. Konotasi positif atau negatif terhadap istilah ini sebenarnya bukan merupakan kendala â karena pada prakteknya yang dinilai adalah hasil kerja Humas, PR atau CorCom ini â apakah hanya sebatas pemadam kebakaran, penyambung lidah pimpinan, atau sebagai jembatan organisasi dengan konstituennya yang intinya sebagai strategic counselorâ terhadap organisasi dimana praktisi berkarya. Untuk itu, PR harus bersikap proactiveâ untuk memberikan pemahaman kepada publik sehingga mendapatkan kepercayaan publik. 4. Humas atau public relations merupakan profesi terbuka Ananto, 2001 yang dinyatakan oleh 90% responden penelitian sederhana yang melibatkan 270 praktisi. Artinya, siapa saja dengan berbagai latar belakang dapat menjadi praktisi dalam bidang ini. Apakah ini menjadi trend di dunia dan di Indonesia ? Banyak penelitian mengenai latar belakang praktisi di bidang public relations ini yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi tuntutan kerja seorang praktisi, semakin diperlukan pemahaman dan keterampilan yang lebih dari dari sekedar kurikulum yang diajarkan di sekolah. Disini kemudian muncul istilah generalistâ dan specialistâ dan kalau di organisasi praktisi public relations dunia dimana saya berkembang, dikenal istilah professionalâ untuk mereka yang memahami ilmu dan praktek PR, serta mereka yang menderung masuk ke dunia ini tanpa latar belakang ilmu disebut sebagai enthusiastic amateurâ. Di Indonesia, sedang dicoba melalui pendidikan Lembaga Sertifikasi Profesi LSP yang memberikan pengakuan terhadap pengetahuan, kemampuan dan keahlian seseorang. Sertifikasi memang diperlukan untuk mencari pekerjaan â tetapi tidak dapat digunakan untuk meyakinkan lingkungan, terutama atasan dimana kita bekerja, karena pada dasarnya kompetensi di lapanganâ yang paling dicari dan dinilai bukan Sertifikasi. Sertifikasi hanya merupakan ticket to rideâ â tetapi bagaimana menjadi the most effective rider adalah persoalan yang lain. 5. Praktek PR yang konservatif tidak dapat menjawab kompleksitas permasalahan yang terjadi. Apa tantangan praktisi PR di era digital sekarang ini? Indikator apa yang menyatakan bahwa seorang PR dapat disebut sebagai professional? Semua potensi praktisi perlu dikerahkan untuk dapat mengikuti tantangan dampak dari keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi komunikasi yang secara signifikan merubah pola komunikasi organisasi secara keseluruhan. Indikator yang jelas dapat dilihat apakah ada unsur Kode Etik Profesi PR yang dilanggar dalam menjalankan praktek PR, atau tabrak sajaâ karena tidak tahu, adanya tuntutan atasan, pasar atau target pencapaian nilai ekonomi. Praktisi PR yang profesional, akan patuh pada Kode Etik Profesi. Di Negara maju, setidaknya dalam organisasi profesi PR dunia, dimana saya berkembang, pelanggaran terhadap kode etik ini dapat mengiring seorang anggota untuk 1 diperingati 2 dibekukan keanggotaannya dan 3 diberhentikan sebagai saja, misalnya menyebarkan berita yang sifatnya provokatif, ber-politik, memberi uang suap, memanfaatkan fasilitas yang bukan haknya. Sayangnya, di Indonesia, Kode Etik Kehumasan baru sebatas wacana â belum benar benar diterapkan pada Anggota. Sejak 1992, belum pernah ada seorang praktisi PR kena sanksi Kode Etik. Siapa yang berani mulai? 6. Berbagai kendala dihadapi oleh praktisi PR antara lain dengan atasannya yang kurang memahami peran dan fungsi PR. Bagaimana cara mempersempit kesenjangan antara potensi praktisi PR yang terhambat karena faktor internalnya? âKami tahu apa yang harus kami lakukan, akan tetapi kendala birokrasi menghambat tugas kami sehingga ya sudah, terserah atasan maunya apaâ. Dimanapun di dunia ini, yang namanya atasan â selalu merasa lebih tahu daripada bawahannya. Rasa lebih tahu ini secara perlahan tapi pasti dapat mulai dikurangi melalui pendekatan persuasif dalam bentuk komunikasi yang sifatnya advocacy â berupa story telling, atau analisa kasus terhadap peristiwa yang terjadi pada lembaga lain biasanya pesaing dan bagaimana strategi komunikasi yang sebaiknya dilakukan, sehingga dapat keluar dari permasalahan yang dihadapi exit strategy. Pendekatan rapportâ dengan atasan ini, perlu dilakukan secara sistematis dengan memperkenalkan early warning systemâ yang merupakan peran penting dalam praktek kehumasan. Biasanya praktek PR yang manajerial dan strategis, baru dapat dibentuk, jika terjadi krisis. Cara lain dengan mengadakan praktek simulasi / role play yang dihadiri oleh pimpinan organisasi what ifâ, yang dapat disisipkan dalam acara tahunan yang dilakukan dalam suasana santai â tapi ada key messageâ yang terarah kepada top manajemen â sehingga diharapkan adanya pemahaman mengenai peran dan fungsi PR yang lebih strategis. 7. Apakah semua lembaga harus memiliki Humas yang strategis? Lembaga atau organisasi yang berfungsi hanya sebatas memberikan pelayanan kepada masyarakat lebih mementingkan diseminasi informasi kepada publik yang berkepentingan. Jika tidak banyak terdapat perubahan kebijakan, tidak banyak terjadi gejolak â diperlukan Humas sebatas memberikan pelayanan informasi. Semakin tinggi tingkat kepentingan publik terhadap keberadaan lembaga itu, semakin diperlukan Humas yang manajerial dan strategis â untuk mengantisipasi reaksi publik atas kebijakan baru yang akan tinggi tekanan dari pihak luar, biasanya â peran dan fungsi PR semakin dituntut ke arah yang managerial dan strategis. Semakin banyak perubahan dan tekanan terhadap perusahaan, semakin tinggi tuntutan terhadap praktek PR ke arah yang lebih manajerial dan strategis. Dalam era digital ini â sudah saatnya semua organisasi, baik pemerintah maupun swasta â tidak lagi menerapkan Humas yang konvensional protocol, dokumentasi, klarifikasi berita, press clipping dan sebagainya. Penguasaan media terutama media sosial perlu dimiliki oleh praktisi Humas, karena opini publik dapat berkembang yang dipicu dengan hanya satu foto atau tulisan di FB â yang dapat memungkinkan terjadinya sentimen publik dan berpotensi menjadi trending topic di media sosial dalam kalangan tertentu. Karena itu, diperlukan praktisi PR yang peka dan positioning â sehingga tidak menjadi kontradiksi antara nilai perusahaan dengan kelakuan pribadi praktisi PR nya. 8. Apa indikator / ukuran keberhasilan praktik PR? Banyak praktisi yang kurang memahami bahwa target kegiatan PR yang sebenarnya adalah merubah sikap publikâ. Perubahan sikap publik ini tidak semata mata dapat dilakukan melalui iklan jor joran, jumpa pers yang berkali-kali, kampanye heboh di media terutama televisi dengan biaya yang aduhai. Tergantung di tahap mana kita mau mengevaluasi keberhasilan praktek PR apakah dari banyaknya media komunikasi yang dihasilkan, banyaknya kegiatan, besarnya anggaran yang digunakan atau sejauh mana kegiatan PR dapat merubah sikap publik. Sebagai ilustrasi jika yang diharapkan adalah merubah sikap publik, perlu satu rangkaian strategi pencapaian kearah yang diharapkan â kampanye yang terarah, terprogram dan berkesinambungan. Untuk korporat bisnisâ â indikator keberhasilan program adalah memperkecil kesenjangan antara harapan pimpinan lembaga dan harapan publik yang dapat dipenuhi oleh lembaga. Ukuran keberhasilan praktek PR hanya dapat diperoleh melalui Riset â yang dilakukan sebelum, di tengah dan sesudah program komunikasi dilakukan. Sejauh Mana terjadi perubahan kearah perbaikan trend, ratio, presentasi â yang diukur secara kuantitatif. Keberhasilan untuk menyajikan data secara kuantitatif inilah yang pada umumnya merupakan kendala praktisi PR untuk meyakinkan atasannya, sejauh mana PR memberikan kontribusi finance dan non finance kepada organisasi. Profesional PR harus dapat berbicara kepada manajemen dengan hard factâ dalam bahasa Manajemen atau ROI. bukan ilusi, emosi atau asumsi. Posted in Majalah PR Indonesia
Setelahsemua upaya menemukan jawaban gagal, maka sampaikan dengan jujur anda belum memiliki jawaban untuk pertanyaan yang diajukan. Panggil nama orang yang bertanya sebagai penghargaan dan ajak audience untuk bertepuk tangan. Contoh "Pak hendra, ini merupakan pertanyaan yang luar biasa namun saya belum memiliki jawaban atas pertanyaan ini. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Perkembangan Teori Public Relations dan Implikasinya terhadap Penelitian dan Pendidikan Public Relations di Indonesia* I Gusti Ngurah Putra** Ada pertanyaan-pertanyaan filosofis yang diajukan seorang pakar komunikasi dari Arab Saudi yang perlu kita jadikan bahan renungan tatkala kita mencoba memahami praktek public relations di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Ia mengajukan pertanyaan âapakah sarjana public relations menyadari adanya fakta bahwa filsafat dasar dan prinsip-prinsip public relations tidaklah sama di beberapa masyarakat yang memiliki perbedaan-perbedaan menonjol dan bahwa mungkin ada banyak jenis public relations?â Al-Enad, 1990, p. 24. Pertanyaan ini ia ajukan mengingat pada dasarnya peranan dan fungsi public relations sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di mana public relations itu dipraktekkan. Al-Enad juga mengajukan pertanyaan lain, masihkah sebuah praktek yang tidak didasari filosofi mendasar atas keberadaan praktek public relation bisa disebut atau dikategorikan sebagai public relations? Pertanyaan Al-Enad layak juga kita kemukakan berkaitan dengan praktek public relations di Indonesia. Ini mengingat antara lain ada faktor konteks historis dari praktek public relations yang berbeda di antara negara-negara yang mempraktekkan public relations. Jika pertanyaan ini lebih ditukikkan, ia bisa menjadi begini Perlukah organisasi-organisasi di negara-negara yang pemerintahannya relatif otoriter mempraktekkan public relations dalam operasi mereka sehari-hari? Adakah kelompok yang kita sebut sebagai publik dalam masyatakat yang demikian? Kalaupun ada, bukankah publikâ di negara-negara seperti itu tidak memiliki * Makalah disampaikan untuk Seminar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia ISKI, Yogyakarta, 20-22 Juni 1996 dan dimuat dalam Trend Komunikasi Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, No 9 & 10, 1997. ** IG. Ngurah Putra adalah staf pengajar jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menyelesaikan pendidikan pasca sarjana dalam bidang komunikasi pada Faculty of Communication, University of Canberra, Australia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mas Setio, Mbak Yudi, Mas Joseph, dan G. Arum Yudarwati atas masukan dan komentarnya terhadap makalah ini dalam diskusi interen staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. kekuatan untuk mempengaruhi perilaku organisasi? Atau, kalaupun ada, kekuatan mereka sering diredusir oleh kekuatan yang lebih besar. Bukankah tidak ada pers bebas yang dapat menjadi anjing penjagaâ pemerintahan maupun organisasi bisnis? Pers yang bebas untuk memberitakan prilaku buruk, baik organisasi bisnis maupun organisasi politik, sehingga publik, jika itu ada, memiliki informasi yang memadai untuk menilai keberadaan organisasi bisnis dan sosial. Bukankah pers di negara demikian banyak dijalankan oleh beberapa wartawan yang integritas profesionalnya patut kita ragukan, karena mereka sering meliput suatu peristiwa untuk mencari amplopâ? Atau apakah praktek relations merupakan suatu praktek khas sebuah organisasi sesuai dengan latar belakang sosial, politik, budaya organisasi tersebut? Banyak pertanyaan filosofis lain yang layak kita ajukan manakala kita melihat praktek public relations di berbagai organisasi dalam seting sosial, politik dan kultural yang beraneka ragam. Makalah ini tidak diniatkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Biarlah pertanyaan tersebut menjadi bahan renungan bersama. Yang ingin disajikan dalam makalah ini adalah perkembangan teori-teori public relations dan sejumlah implikasi terhadap arah penelitian public relations serta pendidikan public relations di Indonesia. Tiga Pendekatan dalam Studi Public relations Dalam studi atau penelitian public relations, terutama di Amerika Serikat, Toth 1992 mengemukakan adanya tiga pendekatan yang cukup menonjol, yakni pendekatan rhetorik rhetorical approach, pendekatan sistem systems approaches dan pendekatan kritis critical approach. Kadang pendekatan rhetorik dan pendekatan kritis dianggap sama, namun ada juga yang melihatnya sebagai pendekatan yang berbeda. Pendekatan rhetorik melihat public relations sebagai sebuah alat yang dipergunakan oleh organisasi untuk membujuk atau mempersuasi pihak-pihak lain yang berkepentingan yang dihadapi organisasi. Titik perhatiannya terletak pada penggunaan wacana discourse untuk membujuk kalangan pihak berkepentingan stakeholders. Menurut Heath 1992. Public relations tidak lain daripada sebuah bentuk rhetorik yang dengannya, orang secara pribadi maupun atas nama organiasasi mempengaruhi pendapat, membentuk saling pemahaman, penilaian, dan juga sikap. Untuk itu, ia memandang rhetorik sangat penting dalam masyarakat karena melalui rhetoriklah, pendapat, pengertian dan penilaian dapat dibentuk dan tindakan dapat diambil. Menurut Heath 1992, masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang memiliki kepentingan sendiri-sendiri dan bersaing satu sama lainnya dalam usaha mereka untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Kelompok-kelompok ini menggunakan rhetorik dalam kegiatan public relations untuk mempertahankan kepentingan mereka. Di sini, kelompok yang ada, entah itu organisasi bisnis, kelompok aktivis lingkungan hidup, kelompok pembela konsumen dan sebagainya, menggunakan rhetorik untuk mencapai ketaatan, good will, pengertian, penghargaan dan tindakan-tindakan. Public relations digunakan oleh organisasi bisnis maupun pribadi-pribadi dalam masyarakat untuk melayani kebutuhan-kebutuhan organisasi. Public relations bagi sebuah perusahaan digunakan untuk membangun visibilityâ dan identitas produk maupun jasa yang ditawarkannya. Sebaliknya, publik dalam konteks free market place of ideasâ dianggap memiliki kemampuan untuk menggunakan rhetorik untuk menanamkan pengaruhnya pada organisasi. Penggunaan rhetorik oleh suatu organisasi melalui kegiatan kehumasannya atau corporate communicationnya haruslah dilihat sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan dan mengartikulasikan kepentingan mereka dalam pasar ide-ide. Upaya semacam ini sah-sah saja adanya, karena memang dalam masyarakat seperti itu dimungkinkan terjadinya pertukaran informasi secara relatif sangat bebas. Yang menjadi bahan telaah dari pendekatan rhetorik dalam penelitian-penelitian public relations adalah isi contents dari berbagai komunikasi yang dilakukan oleh berbagai organisasi. Ini bisa berbentuk isi pidato para eksekutif puncak dari organisasi tertentu, isi penerbitan-penerbitan internal, press releases, maupun isi komunikasi melalui media audio-visual serta isi komunikasi bentuk lainnya. Dari studi terhadap isi komunikasi dalam konteks kegiatan public relations ini akan terlihat tema-tema menonjol yang digunakan tidak hanya oleh sebuah organisasi bisnis tetapi juga oleh para stakeholdersânyaâ dalam usaha mereka untuk mempengaruhi lingkungan simbolik yang ada. Misalnya, dalam usaha mempertahankan industri perminyakan, perusahaan minyak mobil oil dengan gencar mengkampanyekan keunggulan mobil yang menggunakan minyak daripada mencari solusi baru untuk menggantikan mobil pemakai minyak dengan mobil tenaga surya. Penelitian-penelitian dengan menggunakan pendekatan rhetorik ini umumnya dilakukan sarjana komunikasi yang berada dalam lingkungan âdepartment of speech communication.â Berbeda dengan pendekatan rhetorik, pendekatan kritis bertumpu pada ekonomi politik. Dalam pendekatan ini, public relations dilihat dalam hubungannya dengan kepentingan siapa yang sedang dilayani oleh praktisi public relations atau komunikasi korporat. Toth 1992 menganggap bahwa sarjana dari aliran kritis dalam studi public relations menganalisis organisasi dan pesan-pesan yang ditampilkan bukan dalam usaha untuk memperbaiki organsisi bersangkutan, tetapi lebih pada merusak kepercayaan orang terhadap organisasi. Memang, dalam kacamata pendekatan kritis, peranan utama public relations dalam sebuah organisasi adalah untuk mempertahankan kesejahteraanâ organisasi melalui usaha-usaha pengontrolan terhadap lingkungan organisasi Gandhy, Jr., 1992. Bagi Gandhy, misalnya, usaha-usaha yang dilakukan sejumlah orang untuk mengarahkan public relations menuju praktek yang secara sosial lebih bertanggungjawab, seperti apa yang dilakukan James Grunig misalnya, dianggap kurang realistis lihat misalnya Rakow, 1989. Bagi pendekatan kritis, public relations tidak lain dari sebuah toolâ bagi sebuah organisasi untuk mendominasi pasar ide-ide. Public relations merupakan sebuah instrumen yang melayani kepentingan kelompok bisnis atau kelas dominan dalam masyarakat. Jika pendekatan kritis melihat public relations tidak lebih dari sebuah instrumen bagi kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat untuk mempertahankan dominasinya, pendekatan sistem systems approaches melihat public relations sebagai sebuah fungsi dalam organisasi untuk melakukan adaptasi dan penyesesuaian terhadap lingkungan tempat ia berada. Sistem teori melihat sebuah organisasi sebagai sebuah satuan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berinteraksi satu sama lainnya dan satuan itu sendiri juga berinteraksi dengan lingkungan yang melingkupinya dalam usaha untuk mecapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini, sebuah organisasi sebagai sebuah sistem menghadapi supra sistem dan sekaligus memiliki sub-sistem yang selalu berada dalam hubungan interaktif satu sama lainnya. Dengan demikian, sebuah organisasi selalu menghadapi proses dinamik baik dalam lingkungan internal maupun lingkungan eksternalnya. Public relations idealnya, di samping berfungsi untuk membela kepentingan organisasi juga berfungsi untuk membela kepentingan stakeholders. Organisasi, jika ia ingin bertahan, harus mampu melakukan pertukaran informasi dan sumber daya dengan lingkungan internal dan eskternalnya. Ini berarti, sebuah organisasi harus dipahami sebagai sebuah entitas yang memiliki ketergantungan sekaligus kesalingtergantungan dengan lingkungannya, dan yang selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan. Untuk itulah sebuah organisasi, jika kita menggunakan teori sistem sebagai acuan, berusaha untuk menciptakan a boundary spanning taskâ. Menurut Hodge & Anthony 1988 beberapa bagian dari struktur organisasi memiliki fungsi boundary spanningâ. Bagi mereka, a boundary spanning unitâ tidak lain merupakan unit-unit atau bagian-bagian dalam organisasi yang tujuan utamanya adalah untuk mengadaptasi organisasi terhadap tantangan/hambatan dan kontingensi atau segala kemungkinan di dalam lingkungannya yang tidak dapat dikontrol oleh organisasi. Dalam konteks demikianlah, sejumlah teoritikus public relations memandang bahwa petugas public relations atau unit public relations dalam sebuah organisasi memiliki fungsi sebagai sebuah boundary spanning.â Grunig dan Hunt 1984 misalnya, menganggap personalia public relations berada dalam batas sebuah organisasi. Mereka bertindak sebagai liaison antara organisasi dengan lingkungannya. Dengan demikian, dari kaca mata pendekatan sistem, praktisi public relations harus mampu mengontrol konflik dan melakukan negosiasi antara tuntutan lingkungan di satu pihak dengan kebutuhan sebuah organisasi untuk bertahan dan berkembang di pihak lainToth, 1992. Dengan mengacu pada teori sistem, Grunig dan Hunt 1984 menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan oleh organisasi selalu punya konsekuensi pada stakeholdersnya. Namun di lain pihak juga harus disadari bahwa ketika publics atau stakeholders mulai sadar akan konsekuensi tersebut, mereka sangat mungkin juga mengambil satu tindakan yang akan berpengaruh pada organisasi. Kaum buruh mungkin melakukan pemogokan jika upah atau kondisi kerja tidak sesuai dengan standar kesehatan, para konsumen mungkin memboikot suatu produk yang tidak halal atau menyalahi standar kesehatan, misalnya. dst..dst. Singkatnya, organisasi perlu beradaptasi terhadap lingkungannya, dan praktisi public relations berperan dalam membantu organisasi melakukan adaptasi tersebut. Model-Model Public Relations Dari pendekatan sistem ini pula Grunig 1992 menandaskan bahwa praktek public relations yang paling dapat diterima secara sosial dan yang paling etis adalah praktek public relations model simetris dua arah two-way symmetrical model. Menurut Grunig & Hunt 1984 dan Hunt & Grunig 1994 berdasarkan perkembangan historis praktek public relations, terutama di Amerika Serikat, ada empat model public relations yang dapat diidentifikasi. Pertama, model press agentry keagenan pers atau model propaganda. Kedua, model informasi publik public information model. Ketiga, model asimetris dua arah two-way asymmetrical model. Keempat, model simetris dua arah two-way symmetrical model. Namun demikian, studi-studi tentang praktek public relations di luar Amerika Serikat, terutama di negara Asia, menemukan bahwa ada satu model menonjol yang diterapkan organisasi di India dan Taiwan, yakni model pengaruh individuâ personal influence lihat misalnya Sriramesh, 1992; Huang, 1994; dan Grunig et. al. 1995. Model press agentry menggambarkan program-program public relations dengan tujuan tunggal untuk memperoleh publisitas melalui media massa yang menguntungkan favourable organisasi. Dalam model ini, kadang kebenaran dari informasi yang disampaikan menjadi tidak penting. Menurut L. Grunig 1992 praktisi yang mempraktekkan model ini sering dipandang tidak lebih dari sekadar flackâ. Sedangkan dalam model informasi publik, kegiatan public relations bertujuan untuk penyebaran informasi kepada publik. Praktisi yang mempraktekkan model ini sering dijuluki sebagai journalist in residence,â yakni praktisi yang menekankan hubungan media dengan membuat press releasesâ yang sesering mungkin. Namun demikian, berbeda dengan model press agentry, dalam model ini praktisi sudah mempertimbangkan pentingnya kebenaran dalam informasi yang disampaikan. Model asimetris dua arah sudah lebih canggih dari kedua model sebelumnya. Praktisi public relations yang mempraktekkan model ini menggunakan hasil riset untuk mengembangkan pesan-pesan yang sekiranya lebih mudah untuk membujuk publik agar publik berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan harapan-harapan organisasi. Model ini disebut juga sebagai model persuasi ilmiah scientific persuasion yang menggunakan hasil-hasil penelitian tentang sikap, misalnya, untuk merancang pesan. Karenanya, model ini biasanya lebih efektif jika dibanding dengan model dua yang pertama tadi. Walaupun begitu, model ini, menurut Hunt & Grunig 1994 adalah model yang lebih mementingkan pembelaan organisasi daripada mencari solusi yang terbaik bagi penyelesaian problem public relations yang muncul. Maka, organisasi diasumsikan selalu benar dalam tindakan-tindakannya, sementara publik tidak perlu diakomodasi kepentingan-kepentingannya. Model ini jelas kalah efektif jika dibandingkan dengan model simetris dua arah Hunt & Grunig, 1994. Model simetris dua arah menggambarkan sebuah model public relations yang beroperasi berdasarkan penelitian dan menggunakan komunikasi untuk mengelola konflik dan meningkatkan pemahaman dengan publik strategik. Model ini menekankan pentingnya sebuah perubahan prilaku organisasi untuk merespon tuntutan publik. Dengan kata lain, public relations dalam sebuah organisasi di samping berfungsi untuk mempersuasi publik juga berfungsi untuk membujuk pengelola organisasi. Inilah yang menurut Grunig 1992 merupakan model public relations yang paling etis dan bisa diterima secara sosial. Namun, banyak yang melihat model ini sangat utopis lihat misalnya Rakow, 1989. Dalam kenyataannya, organisasi yang ada lebih banyak menerapkan public relations tiga model pertama. Sebenarnya, kritik terhadap model ini mulai muncul. Kritik terhadap konsep model public relations ini dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, kritik metodologis, kedua kritik terhadap asumsi-asumsi yang membangun model keempat. Kritik pertama dikemukakan oleh Leichty dan Springston 1993. Menurut mereka, secara metodologis model public relations memiliki dua kelemahan. Pertama, model ini memunculkan masalah berkaitan dengan pengukuran terhadap masing-masing model. Tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara model-model public relations. Kalaupun ada, menurut mereka, mungkin hanya ada dua model public relations, model satu arah dan model dua arah. Kedua, ada masalah agregasi berkaitan dengan cara pertanyaan disusun dan jawaban yang diberikan oleh praktisi. Model public relations mengasumsikan bahwa hanya terdapat satu cara yang dipraktekkan oleh sebuah organisasi sepanjang waktu dan untuk seluruh publik. Menurut Leichty & Springston, sebuah organisasi mungkin mempraktekkan model press agentry menghadapi publik terentu, mungkin menerapkan model lain untuk publik lainnya. Organisasi mungkin menerapkan model public relations secara situasional sesuai dengan perkembangan isu dan publik yang dihadapinya. Mereka menyarankan untuk melihat praktek model ini pada tingkat hubungan antara organisasi dengan masing-masing publik, bukan pada tingkat organisasi. Berbeda dengan kritik Leichty & Springston 1993, kritik yang dikemukakan Coombs 1993 berkaitan dengan asumsi-asumsi dasar dari model public relations yang dibangun berdasarkan pendekatan sistem. Kritik Coombs sebenarnya lebih khusus ditujukan untuk model simteris dua arah, yang menurutnya merupakan model yang tidak menjadi pilihan untuk diterapkan. Menurut Coombs, model simetris dua arah, yang seperti dikemukakan oleh Grunig, merupakan model yang paling ideal, tidak banyak diterapkan dalam praktek public relations karena, asumsi-asumsi yang mendasari model ini dibangun dengan landasan pluralisme. Pluralisme mengasumsikan bahwa kelompok-kelompok yang hidup di tengah-tengah masyarakat mempunyai kemampuan yang sama dalam interaksi mereka satu sama lainnya. Dalam kenyataannya, organisasi-organisasi bisnis yang ada memiliki sumber daya yang begitu besar jika dibandingkan dengan publik yang mereka hadapi. Hubungan yang asimetris ini menyebabkan, organisasi bisnis cenderung untuk mempraktekkan model public relations yang juga bersifat asimetris. Peranan Public relations Di samping konsep model public relations ini, dalam usaha pengembangan profesionalisme public relations juga berkembang konsep peranan public relations. Konsep ini melihat praktek public relations dari capaian-capaian yang telah diperoleh praktisis public relations dalam seting organisasional. Konsep ini pada mulanya dikembangkan oleh Broom dan kemudian oleh Broom dan Smith Dozier, 1992 yang kemudian juga telah menjadi bagian penting dari penelitian public relations di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, misalnya Thailand lihat Ekachai, 1995. Menurut Dozier 1992, peranan praktisi public relations dalam organisasi merupakan salah satu kunci penting untuk pemahaman fungsi public relations dan komunikasi organisasi. Peranan praktisi public relations juga merupakan salah satu kunci untuk pengembangan pencapaian profesional dari praktisi public relations. Pada mulanya, peranan public relations dibagi ke dalam empat kategori yakni sebagai expert prescriber, communication facilitator, problem solving process facilitator dan communication technician. Sebagai seorang expert prescriber, praktisi public relations membantu manajemen dengan pengalaman dan keterampilan mereka untuk mencari solusi bagi penyelesaian masalah public relationship yang dihadapi sebuah organisasi. Hubungan praktisi public relations dengan manajemen sama halnya dengan hubungan dokter dan pasien. Manajemen percaya bahwa sebagai ahli, praktisi public relations akan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasai masalah public relations yang sedang dihadapinya, sehingga manajemen pasif dan menerima apa yang telah diusulkan oleh praktisi public relations Dozier, 1992; Dozier & Broom 1995. Sebagai problem-solving process facilitator, praktisi public relations membantu kerja manajemen melalui kerja sama dengan bagian lain dalam organiasasi untuk menemukan pemecahan masalah yang memuaskan bagi masalah public relations. Dalam peranan ini, praktisi public relations merupakan bagian dari tim manajemen membantu organisasi dan para pimpinannya melalui proses penyelesaian masalah secara rasional. Sedangkan dalam posisi sebagai communication facilitator, praktisi public relations membantu manajemen dengan menciptakan kesempatan-kesempatan untuk mendengarâ apa kata publics dan menciptakan peluang agar public penting mendengar apa yang diharapkan manajemen Broom & Dozier, 1995. Tipe keempat peranan praktisi public relations hanya menyediakan layanan teknis komunikasi untuk organisasi sedangkan keputusan untuk teknis komunikasi yang harus dijalankan ditentukan oleh orang atau bagian lain dalam organisasi. Dalam peranan ini, praktisi public relations sering juga disebut sebagai journalist in residence.â Tiga peranan yang disebut pertama akhirnya dipertimbangkan sebagai peranan manajerialâ sedangkan yang terakhir dikategorikan berbeda sebagai peranan teknis.â Sehingga kemudian, Dozier berpendapat bahwa hanya ada dua peranan praktisi public relations dalam sebuah organisasi, yakni public relations manager atau communication manager role dan public relations technician atau communication technician role. Secara ideal, kedua peranan harus ada dalam praktek public relations pada sebuah organisasi. Namun demikian, dalam banyak organisasi, praktisi public relations hanya menjalankan peranan teknisi sebab apa yang mereka jalankan sudah ditentukan oleh bagian lain dalam organisasi, seperti oleh Bagian Pemasaran, jika public relations dipandang tidak lebih dari sekadar publisitas produkâ atau Bagian Umum jika public relations dianggap sebagai kegiatan protokoler. Menurut Dozier 1992, ketika sebuah organisasi mempraktekkan model press agentry atau model informasi publik, yang dibutuhkannya tidak lebih dari sekadar teknisi public relations. Sebagai konseksunsinya, petugas public relations biasanya disingkirkan dari perencanaan strategik organisasi dan dari proses solusi masalah. Teknisi biasanya dicari untuk mengimplementasikan komunikasi ke luar sesudah keputusan diambil pihak lain. Hal sangat mendasar yang membedakan kedua peranan ini adalah pada keterlibatan praktisi public relations dalam proses pengambilan keputusan di tingkat korporat. Para teknisi tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan manajemen, sedangkan manager terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai seorang teknisi, ia disingkirkan dari proses pengambilan keputusan dan ia disubordinasi oleh unit lain yang mengâcastingâ public relations untuk melayani fungsi lain. Menurut Lauzen 1992, para praktisi yang menjalankan peranan manajerial utamanya membuat keputusan kebijaksanaan dan dianggap bertanggung jawab terhadap gagal atau berhasilnya sebuah program public relations. Praktisi yang bertindak atau menjalankan peranan manager terlibat dalam proses organisasi secara keseluruhan, tidak sekadar di bagian public relations. Di sini perlu dicatat bahwa ketika praktisi public relations menjalankan peranan manajerial, ada dua hal penting yang menjadi cirinya. Pertama, mereka merupakan bagian dari koalisi dominan dalam organisasi dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang memutuskan perencanaan strategik. Kedua, mereka mengelola bagian public relations tanpa campur tangan bagian lain dan bertanggung jawab secara penuh terhadap seluruh programnya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktek Public relations Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul berkaitan dengan klasifiksai model ini dan juga berkaitan dengan tipe peranan public relations ini antara lain mengapa dalam kenyataannya organisasi-organsiasi yang ada mempraktekkan model public relations yang berbeda-beda? Faktor apa yang menyebabkan organisasi memilih model tertentu dan tidak mempraktekkan model lainnya. Mengapa praktisi public relations menjalankan peranan yang berbeda-beda dalam berbagai organisasi. Pada mulanya, sejumlah riset memperkirakan faktor lingkungan organisasi mempengaruhi praktek public relations dalam sebuah organisasi. Ini tentu saja konsisten dengan teori sistem. Menurut Grunig 1992 organisasi dengan lingkungan yang berubah atau tidak stabil mungkin akan mempraktekkan model simetris dua arah agar mereka dapat mengelola kesalingtergantungan dengan lingkungan secara baik. Namun, ketiadaan bukti-bukti yang kuat, memaksa Grunig menyangsikan pengaruh lingkungan ini. L. Grunig 1992 kemudian menawarkan perspektif power-control pengendalian kekuasaan sebagai faktor penjelas mengapa organisasi mempraktekkan model public relations yang berbeda-beda. Perspektif ini mengasumsikan bahwa prilaku sebuah organisasi sangat ditentukan oleh pemegang kekuasaan dalam organisasi itu. Sedangkan keputusan para pemegang kekuasaan dalam organisasi, yang juga menentukan praktek public relations dalam organisasi tersebut lebih lanjut dipengaruhi oleh antara lain budaya perusahaan corporate atau organisational culture, potensi yang dimiliki oleh bagian public relations dan pemahaman para pemegang kekuasaan terhadap public relations. Sebuah organisasi yang menganut budaya otoriter cenderung akan mempraktekkan sistem manajemen tertutup sehingga mempraktekkan model asimetris. Sebaliknya, bila para pemegang kekuasaan dalam organisasi menekankan budaya partisipasi, mereka lebih suka dengan sistem terbuka sehingga ada kemungkinan lebih besar untuk mempraktekkan model simetris dua arah. Beberapa Penelitian Terlepas dari adanya kritik yang dialamatkan pada konsep model dan peranan public relations ini, baik karena kelemahan konsep itu sendiri dan masalah metodologi yang menyertai misalnya lihat Leichty & Springston, 1993 maupun terhadap dasar-dasar filosofis dan ideologis dari model public relations lihat Coombs, 1993, misalnya, konsep model dan peranan public relations ini merupakan konsep teoritis yang cukup banyak menjadi bahan acuan untuk penelitian public relations, bukan saja di Amerika Serikat, tetapi juga di negara-negara lain. Model public relations paling tidak sudah menjadi kerangka penelitian atau dasar teori penelitian public relations di Taiwan Huang, 1994, di India Sriremash, 1992 di China Chen, 1992, di Yunani lihat Grunig et. al. 1995. Studi-studi ini meneliti antara lain public relations model apa yang dipraktekkan dalam organisasi-organisasi di negara-negara tersebut? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerapan masing-masing model yang dipraktekkan. Sriramesh 1992, misalnya, yang meneliti praktek public relations pada organisasi bisnis dan organisasi pemerintah publik di India Selatan menemukan sebagain besar organisasi mempraktekkan model press agentry dan model informasi publik. Terhadap fenomena ini, ia mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi penyebabnya. Yang utama adalah budaya masyarakat India, yang juga mempengaruhi budaya perusahaan atau organisasi. Masyarakat India yang berkelas, bukan saja kelas berdasarkan kasta, tetapi juga kelas-kelas ekonomi melahirkan manajer-manajer yang yang memiliki hubungan asimetris dengan publik yang dihadapi organisasi. Budaya masyarakat ini juga hidup dalam praktek-praktek organisasi. Manajemen yang dikembangkan cenderung bergaya otoriter. Dalam masyarakat dan perusahaan seperti itu, manajer, yang memang punya asal usul dari kelas atas, baik dalam artian kasta maupun kelas ekonomi, menganggap tak ada gunanya organisasi mengakomodasi kepentingan-kepentingan publik. Berbeda dengan Sriramesh, Huang 1994 meneliti tentang praktek public relations pada sebuah perusahaan energi di Taiwan Taiwan Power Company= TPC. Ia meneliti praktek public ralations TPC sejak munculnya perlawanan kelompok aktivis terhadap TPC ketika TPC mengajukan proposal untuk membangun reaktor nuklir keempat di Taiwan. Huang menemukan bahwa kampanye public relations yang dilakukan TPC selama dua belas tahun 1980-1992 dicirikan dengan pandangan asimetris. Tiga model dominan yang dipraktekkan oleh TPC adalah model press agentry, model informasi publik dan model asimetris dua arah. Pada tahap awal kampanye, kegiatan public relations dicirikan dengan penggunaan propaganda yang menenkankan jaminan keselamatan dan keuntungan ekonomi dari pembangunan reaktor nuklir. Praktek ini didukung oleh kenyataan bahwa Taiwan pada saat itu merupakan negara otoriter. Pencabutan UU Darurat pada tahun 1987, mempengaruhi model public relations yang dipraktekkan TPC. Pada tahap ini, kegiatan public relations diarahkan untuk mendidik publik tentang tenaga nuklir. Pada tahap selanjutnya, karena adanya desakan yang begitu kuat dari publik, TPC mulai mengubah model public relationsnya. TPC mulai mempraktekkan model asimetris dua arah. Di sini praktisi public relations mulai memakai penelitian formatif dan evaluatif dalam usaha mereka untuk menyusun pesan-pesan yang diperkirakan mampu meyakinkan publik akan arti penting dan jaminan keselamatan tenaga nuklir. Bersamaan dengan itu, TPC juga mulai menerapkan teknik penggembosan publik, yakni dengan mendekati para pemimpin komunitas dan menggunakan uang atau keuntungan material lain untuk mempengaruhi publik. Walaupun pada akhirnya TPC menerapkan model public relations simetris dua arah, model ini hanya digunakan untuk mencapai motif asimetris yang melandasi tingkah laku TPC. Segera setelah pemerintah menyetujui proposal yang diajukan TPC, TPC segera menghentikan seluruh kegiatan komunikasinya. Dari penelitiannya ini, Huang menyarankan untuk melihat konteks sosial politik praktek public relations di negara-negara berkembang. Penelitian dan Pendidikan Public relations di Indonesia Dibandingkan dengan topik-topik lain dalam studi komunikasi di Indonesia, seperti jurnalistik, studi media massa dan komunikasi pembangunan, topik public relations kurang begitu mendapat perhatian. Dahlan 1982 misalnya, mengutip data dari penelitian Deppen, menunjukkan sedikitnya jumlah penelitian tentang public relations. Bahkan ia merupakan topik yang paling sedikit diteliti di antara topik-topik yang ada. Buku Asian Communication Handbook Goonasekera & Holaday , 1993 yang membuat daftar pustaka berkaitan dengan studi komunikasi di Asia, termasuk di dalamnya Indonesia, sama sekali tidak memuat topik penelitian tentang public relations. Jika praktek public relations di Indonesia ingin agar ia lebih membumi, mau tidak mau penelitian-penelitian tentang praktek public relations di Indonesia seyogyanya sudah mulai mendapat perhatian. Dari penelitian-penelitian ini bisa diharapkan munculnya teori-teori baru public relations khas Indonesia.â Inilah yang kemudian bisa dijadikan body of knowledgeâ pendidikan public relations. Mengacu pada Grunig 1993 penelitian-penelitian public relations bisa diarahkan ke dalam tiga level. Pada level mikro penelitian public relations diarahkan untuk penelitian terapan yang menjadi kepentingan utama dari para praktisi public relations, terutama dikaitkan dengan penelitian untuk perencanaan dan evaluasi program-program public relations. Pada level ini penelitian public relations umumnya berkaitan dengan efektifitas kampanye public relations dan sebagainya. Pada level meso managerial, penelitian public relations dikaitkan dengan bagaimana public relations dalam organisasi harus dikelola, faktor-faktor apa yang menentukan praktek public relations dalam sebuah organisasi, mengapa sebuah organisasi mempraktekkan satu model public relations, mengapa tidak memilih yang lainnya. Untuk kasus Indonesia, masalah mendasar yang perlu dijawab barangkali adalah bagaimana organisasi di Indonesia mempraktekkan public relations. Pada makro level, penelitian public relations berusaha untuk menjawab faktor-faktor sosial, budaya apa saja yang melingkupi organisasi mempengaruhi praktek public relations. Dikaitkan dengan pengembangan pendidikan tinggi public relations, dua teori atau konsep yang telah cukup mendapat pengembangan, sangat relevan untuk dijadikan bahan acuan. Dari model public relations misalnya, sebenarnya model public relations yang mana yang paling tepat untuk dikembangkan. Secara etis, tentu model simetris dua arah. Nampaknya pendidikan public relations di perguruan tinggi harus diarahkan menuju penerapan model simetris dua arah untuk berbagai organisasi. Model simetris dua arah sebenarnya model yang paling lengkap. Teknik-teknik dalam model yang lainnya masih bisa diajarkan kepada mahasiswa yang diarahkan untuk belajar model simetris dua arah. Sementara konsep peranan public relations memberikan gambaran posisi-posisi manajerial dan keterampilan macam apa kira-kira yang relevan yang perlu mendapat penekanan dalam kurikulum pendidikan tinggi public relations di Indonesia. Konsep ini menekankan pentingnya kemampuan teknis komunikasi untuk praktisi public relations dan sekaligus adanya tuntutan untuk memiliki kemampuan manajerial bagi mereka. Tinggal pilihannya adalah apakah pada tingkat perguruan tinggi mahasiswa semata-mata diarahkan untuk menguasai teknik komunikasi atau mereka diarahkan untuk menguasai keduanya sekaligus. Jika acuannya adalah pada kesiapan kerja, tak salahnya pendidikan public relations di perguruan tinggi mulai diarahkan untuk lebih berorientasi praktis. Namun demikian, ini semua harus disesuaikan dengan kebutuhan industri yang sedang berkembang. Catatan Penutup Ada sejumlah masalah yang ingin didiskusikan dalam makalah ini. Pendiskusian masalah ini didorong oleh kenyataan bahwa di satu sisi praktek public relations di Indonesia mulai tumbuh secara relatif pesat, sementara di sisi lain antisipasi dunia pendidikan tampaknya walaupun cukup positif, antisipasi ini tidak dibarengi dengan pengembangan konsep-konsep public relations yang mengakar di Indonesia. Buku-buku public relations yang muncul yang kemudian dijadikan acuan dalam pengajaran public relations perlu dipertanyakan, mengingat ada faktor-faktor sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi konsep-konsep dalam buku itu, yang mungkin berbeda dengan kondisi sosial, politik dan budaya Indonesia. Dengan dasar ini, makalah ini menyarankan pentingnya penelitian-penelitian public relations di Indonesia sebagai bagian dari usaha membangun body of knowlegdeâ public relations yang khas Indonesia untuk bahan pendidikan public relations di Indonesia. Walaupun demikian, makalah ini sebenarnya tidaklah bersikap apriori terhadap konsep-konsep public relations yang telah dimunculkan di negara-negara Barat. Konsep-konsep tersebut penting untuk dikemukakan di sini sebagai bagian dari penelusuran perkembangan teori-teori public relations yang telah berkembang selama ini. Di samping mendiskusikan konsep-konsep yang sudah berkembang selama ini, makalah ini juga mendiskusikan sejumlah penelitian di luar Amerika Serikat yang menggunakan konsep-konsep public relations sebagai kerangka teorinya. DAFTAR PUSTAKA Al-Enad, 1990. The role of public relations in developing countries. Public Relations Quarterly, Spring, 24-26. Chen, N. 1992. Public relations in China The introduction and development of occupational field. Disertasi PhD tak diterbitkan, Ohio University, Columbus. Coombs, W. T. 1993. Philosophical underpinning ramification of the pluralist paradigm, Public Relations Review, Vol. 19 2, 111-119. Dahlan, M. A. 1982. Communication for policy-makers and planners Some preliminary observations. Dalam S Amunugama dan A. R. bin Mohd Said editor, Communication Research in Asia, hal. 57-67. Singapore AMIC. Dozier, D. M. 1992. The organisational roles of communication and public relations practitioners. Dalam J. E. Grunig editor, Excellence in Public Relations and Communication Management, hal. 327-355. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates. Dozier, D. M. & Broom, G. M. 1995. Evolution of the manager role in public relations practice. Journal of Public Relations Research, Vol. 71, 2-26. Ekachai, D. G. 1995. Applying Broomâs roles scales to Thai public relations practitioners. Public Relations Review, Vol. 214, 325-336. Gandhy, Jr. O. J. 1992. Public relations and public policy The structuration of dominance in the information age. Dalam L. Toth & R. L. Heath editor, Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations, hal. 131-163. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates. Goonesekera, A. & Holaday, D. 1993. Asian Communication Handbook. Singapore AMIC. Grunig, J. E. and Hunt, T. 1984. Managing Public Relations, New York Holt, Rinehart and Winston. Grunig, J. E. 1992. Communication, public relations, and effective organisation an overview of the book. Dalam J. E. Grunig editor, Excellence in Public Relations and Communication Management. hal. 1-28. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates. Grunig, J. E. 1993. Implications of public relations for other domains of communication. Journal of Communication, Vol. 433, 164-173. Grunig, L. A. 1992. Activism how to limits the effectiveness of organisation and how excellence public relations department respond. Dalam J. E. Grunig editor, Excellence in Public Relations and Communication Management. hal. 503-530. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates. Grunig, J. E. , Grunig, L. A. , Sriramesh, K., Huang, Yi-Hui, & Lyra, A. 1995. Models of public relations in an international setting. Journal of Public Relations Research, Vol. 73, 163-186. Heath, R. L. 1992. The wrangle in the marketplace A rhetorical perspective of public relations. Dalam E. L. Toth & R. L. Heath editor, Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations, hal. 17-63. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates. Hodge, B. J. & Anthony, W. P. 1988. Organization Theory, edisi ketiga. Boston Allyn and Bacon. Huang, Y, 1994. Models of public relations and anti-nuclear actvism A case study of a nuclear power plant in Taiwan. Makalah disampaikan pada Konferensi Tahunan ke-44 the Internationa Communication Association, Sydney, 11-15 July. Hunt, T. & Grunig, J. E. 1994. Public Relations Techniques. Fort Worth Harcourt Bruce College Publisher. Lauzen, M. M. 1992. Public relations roles, intraorganizational power, and encroachmnet. Journal of Public relations Research, Vol. 18.3, 24-31. Leichty, G. & Springston, J. 1993. Reconsidering public relations models. Public Relations Review, Vol 19 4, 327-339. Rakow, 1989. Information and power Toward a critical theory of information campaigns. Dalam Salmon editor, Information Campaigns Balancing Social Values and Social Change., hal. 164-184. Newbury Park, Cal Sage. Sriramesh, K. 1992. Societal culture and public relations Ethnographic evidence from India. Public Relations Review, Vol. 182, 201-211. Toth, E. L. 1992. The case for pluralistic studies of public relations Rhetorical, critical and systems perspectives. Dalam E. L. Toth & R. L. Heath editor, Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations, hal. 17-63. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates. Uud WahyudinMelly Maulin PurwningwulanThe purpose of government public relations activities is to build a good image for the institution. Toachieve its objectives, a mutually beneficial relationship is needed between PR and the mass paper analyzes in depth the urgency of mass media in campaigning for ViralkanKabarBaik asone of the government's public relations marketing media. The theory used is the media ecologicaltheory which focuses on many types of media and views media as an environment. The conclusion isthat ViralkanKabarBaik fosters public confidence in the government. It is expected that publicrelations practitioners are more proactive in reporting positive things using varied of public relations have identified four typical models of public relations practice in countries with Anglo culturesâpress agentry, public information, two-way asymmetrical, and two-way symmetrical. Press agentry and public information form a continuum of craft public relations. The two-way models make up a continuum of professional public relations. Research shows that public relations departments contribute most to organizational effectiveness when they practice on the professional continuum and emphasize the symmetrical model more than the asymmetrical. However, most of the conditions that foster professional public relations in Anglo countries may not exist in and around most organizations in other cultures. In addition, in other countries practitioners may practice public relations according to a completely different model. In this article, we report a meta-analysis of studies of public relations practice in India, Greece, and Taiwan. Those studies show that craft public relations predominates in these countries Although practitioners ascribe to the values and goals of professional public relations, most do not have the knowledge to practice it. In addition, through the research we identified two additional patterns of public relations practiceâ"personal influence" and "cultural translation." These patterns may represent new models, but more likely they are variations within the four known models. The research also suggests, however, that public relations practice containing at least elements of the two-way symmetrical model may be generic to effective practice in all cultures. Krishnamurthy SrirameshThis study uses the methodology of ethnography to study the practice of public relations in India. The author concludes that Indian culture breeds a management philosophy that is domineering, and this in turn breeds a public relations department whose only purpose is to provide publicity for the a domineering management philosophy also results in labor relations policies that are primarily adversarial and interactions that are predominantly Sriramesh is an assistant professor in the Department of Communication at Purdue University, West Lafayette, Indiana. He holds a doctorate in public communication from the University of Maryland at College Park. David DozierGlen M. BroomWe conducted a comparison of public relations manager role enactment in 1979 and 1991. Using independent systematic samples of Public Relations Society of America members in 1979 N = 440 and 1991 N = 203. variables related to role enactment were tested in a causal model and compared over time 12 years. Key elements of the causal model remained constant. Gender male is positively related to professional experience; professional experience is positively related to predominant manager role enactment. Predominant manager role enactment, in turn, is positively related to participation in management decision making. Decision-making participation is positively related to both salary and job satisfaction. Key changes over time involve reduction in indicators of gender role segregation and salary discrimination. Specifically, gender male is positively related to predominant manager role enactment in 1979, after controlling for professional experience. In 1991, this residual variance is reduced to an insignificant level. In 1979, significant salary differences between men and women remain, after controlling for professional experience. Manager role enactment and decision-making participation. Arguably, such residual difference in salaries indicates gender salary discrimination. In 1991, this residual difference in salary is reduced to an insignificant level. James E. GrunigAu cours des dix dernieres annees, les chercheurs dans le domaine des relations publiques ont fait de remarquables progres et ont permis le developpement d'une theorie generale des relations publiques. La recherche en relations publiques a progresse a travers trois niveaux de problemes. Le niveau micro individu se refere a l'evaluation des programmes de relations publiques individuelles. Le niveau meso groupe se refere a l'organisation et a la gestion des departements de relations publiques. Le niveau macro environnement se refere a l'explication du comportement dans les relations publiquesMartha M. LauzenEncroachment occurs in public relations when professionals with expertise in such fields as marketing, law, human resources, or engineering occupy the senior public relations position in an organization. When encroachment occurs, public relations frequently becomes little more than a technical support function servicing other units of the organizationârather than a central management function in itself. I explored the idea that encroachment does not result so much from outsiders grabbing the turf of public relations as from weaknesses of public relations practitioners themselves. I used a systematic sample of 166 public relations practitioners in the United States to test the idea that public relations manager role aspirations and competencies and the schema held regarding the public relations function explains the extent to which encroachment takes place. Results suggest that managerial aspirations and competencies and the belief that public relations is a powerful organizational function decrease the likelihood of âGeeâ EkachaiThis ankle used Broom's role scales to examine roles behaviors of Thai public relations practitioners to see if they perceive their roles similarly to their American counterparts. Four factors and one isolate emerged from the factor analysis manager, communication liason, media relation specialist, graphic technician, and Broom's role scales appear to have a cross-cultural application, at least with the Thai sample. The manager and communication liaison factors found in this study were consistent with the findings in a series of role studies conducted by Broom and Dozier. TentangPenulis; Menghadapi pertanyaan kritis terhadap Alkitab. martianuswb 2014/05/12 2014/05/12 No Comments on Menghadapi pertanyaan kritis terhadap Alkitab. Post Views: 2,454. Bagi yang mengenal tulisan-tulisan saya, pasti tahu kalau saya senang membaca buku-buku klasik kekristenan dibandingkan dengan buku-buku yang muncul di dekadePeluangkerja sebagai Public Relations akan selalu terbuka, karena: 1. Setiap Perusahaan akan Selalu Membutuhkan Public Relations Public relations (PR) akan selalu dibutuhkan oleh suatu perusahaan, perannya sangat penting dalam membangun dan menjaga saling pengertian antara organiÂsaÂsi, stakeholder, dan masyarakat umum.